“Put papa hari ini mau pulang loh” Begitulah kalimat
pertama kali yang diucapkan kaka saat aku
menjawab telfonnya.
“Papa hari ini pulang? Wah udah sembuh dong berarti.
Anter ke rumah sakit sekarang dong kak, puput pengen jemput papa” Jawabku,
dengan penuh semangat.
Kaka pun menjemputku disekolah. Padahal saat itu belum
jam pulang. Lalu kita berangkat menuju Rumah Sakit. Di perjalanan, aku selalu
membayangkan saat-saat bersama papa dulu, ketika papa sehat. Aku masih ingat,
dulu papa sering membangunkanku untuk tahajjud, tapi aku justru malah
membuatnya marah lalu tidur kembali. Tapi papa terus mencoba untuk membangunkan
ku, bagaimanapun caranya. Akhirnya papa pun sholawatan di dekat telinga ku,
kenceeeng banget. Sampai akhirnya aku tak bisa nolak, aku harus mengikuti permintaan papa, yaitu bangun
lalu sholat tahajjud. Dan.. gara-gara
kejadian sederhana itu, alhamdulillah jadilah puput yang sekarang ini.
Terimakasih, pah. Aku rindu dengan semua caramu membangunkanku.
“Senyam-senyum, cepet turun, udah nyampe nih!” kata
kakak ku, dengan teriakan maungnya mulai bergentayangan ditelingaku.
Waktu memang tak cukup jika untuk bernostalgia semua
moment aku dan papa. Tapi aku tak peduli. Yang penting sekarang aku harus pergi
ke ruangan papa lalu membawanya pulang. Yeah, rasanya seperti liburan panjang
telah tiba. Bahagia sekali menyambut papa pulang. Karena aku sudah tak sabar
ingin menceritakan tentang banyak hal. Termasuk menceritakan sosok laki-laki
yang sedang ku kagumi saat ini.
Aku pun membuka pintu kamar papa. Dari situ, aku
melihat ruangan telah tertata rapih. Semua barang telah dimasukkan ke dalam
tas. Yeah, berarti papa hari ini jadi pulang. Tapi, alangkah terkejutnya diri
ini saat melihat kondisi papa saat itu. Mata papa sudah melihat ke atas. Hembusan
nafas yang dikeluarkannya pun sudah tak stabil.
“Pa, katanya mau pulang? Kok mau pulang kondisinya
malah makin parah? Papa ngga lagi becanda kan?” Tanyaku, sedikit cemas.
Namun papa tak menjawab pertanyaanku. Malah
sepertinya papa tak mengerti dengan pertanyaanku tadi. Lalu, entah kenapa air
mata ini tiba-tiba membasahi pipi. Tak tega rasanya melihat cinta pertama ku
terbaring lemah tak berdaya. Aku pun pergi ke kamar mandi, disana aku menangis
sejadi jadinya. Aku malu jika harus menangis di depan papa. Aku malu. Tak lama
aku dipanggil oleh mama ku. Aku pun menemuinya dan aku merasa bahwa dunia ini
seperti sedang kiamat. Saat jantung papa berhenti berdetak, air mata penyesalan
ini banjir membasahi pipi. Diri ini langsung lari dan teriak memanggil perawat.
Seolah tak peduli menjadi sorotan mata orang banyak. Perawat pun langsung
membawa alat detak jantung. Tapi sepertinya, jantung papa sudah tak berfungsi
lagi. Dan perawat pun menutup mata papa lalu mengucapkan “Innaillahi wainna
ilaihi rojiun”. Entah apa yang harus aku lakukan saat itu. Ingin menyalahkan
takdir, tapi itu tidak mungkin. Tak terasa, rintik hujan dimataku semakin
larut. Hingga diri ini sempat tak sadarkan diri.
Usai maghrib, jenazah papa langsung dibawa ke rumah. Sesampai dirumah, raga ini lemah saat melihat bendera kuning terpampang didepan rumah. Perlahan demi perlahan kaki ini bergerak menelusuri jalan. Terlihat saat itu ratusan orang berada disekitar rumah. Aku tak sanggup melihatnya, Yaa Allah. Hingga tak sadar, diri ini jatuh tak berdaya.
Usai maghrib, jenazah papa langsung dibawa ke rumah. Sesampai dirumah, raga ini lemah saat melihat bendera kuning terpampang didepan rumah. Perlahan demi perlahan kaki ini bergerak menelusuri jalan. Terlihat saat itu ratusan orang berada disekitar rumah. Aku tak sanggup melihatnya, Yaa Allah. Hingga tak sadar, diri ini jatuh tak berdaya.
Ah sudahlah.. Aku malu jika harus mengingat kejadian
itu. Kenapa aku lemah sekali? Padahal aku tahu bahwa Allah SWT telah berfirman
dalam Al-Qur’an :
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمـَوْتِ
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati”
Kalo begitu,
berarti kita semua akan mati. Hanya cara dan waktu nya saja yang berbeda.
Mungkin saat itu adalah waktu nya Allah untuk memanggil papa. Aku harus bisa
terima semua ini. Toh, semua ini milik Allah. Bukankah kepada Allah juga kita
akan kembali?
Saat ini, aku
seperti orang cacat. Dimana aku hidup, agar bisa berdiri tegak dengan 2
tongkat, yaitu dua orang yang berjasa untukku. Ia adalah mama dan papa ku.
Kini, papa ku sudah tiada. Jadi aku kehilangan satu tongkat ku. Akan tetapi,
aku mempunyai kakak-kakak yang bisa menjadi pengganti tongkat ku yang hilang.
“Terkadang Allah mengambil kembali apa yang
Dia titipkan pada kita disaat kita tak ingin melepaskannya, mungkin itulah cara
Dia mengingatkan kita, bahwa sejatinya tak ada yang abadi di Dunia ini”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar